Sabtu, 06 November 2010

Pertemuan Pertama

CERPEN         
       
           Itukah dia? Tubuhnya dibalut oblong biru murahan dipadu jeans hitam dengan jahitan benang merah. Tinggi berkisar  165 cm dengan badan sedikit gempal, menyender pada sisi etalase "Contempo" di pelataran pertokoan BIP (Bandung Indah Plaza).Jarak 10 meter,membuat aku leluasa menilik raut mukanya.Wajahnya bulat,hidungnya tidak begitu mancung.Kulitnya yang putih tidak mampu mengatrol nilai penampilannya.Ah ... Herman,kamu ternyata biasa-biasa saja! Jauh dari gambaran cowok idola.
       Kutinggalkan dengan tergesa Jalan Merdeka.Teriknya matahari seakan menyengat.Akhir-akhir ini Bandung terasa panas sekali.Padahal matahari sudah melampau titik kulminasinya.Kupercepat langkah menuju arena parkir. Kupacu "astrea" ku. jarum pada speedometer menunjuk angka 80. Bukan tanpa alasan kalau gas sepeda motor kutambah. Aku takut Herman memergokiku. T-shirt biru dan jeans hitam yang melekat ditubuhku, cukup untuk membuat Herman mengenaliku. Kusimpan motorku dihalaman samping. Kujajaki kerikil halaman rumahku. Kuterobos pintu rumahku.Tidak ada siapa-siapa di rumah.Sepi. Mama dan papa masih dikantor. Kakakku mungkin lagi asyik di kampusnya. Hanya bi Narsih yang menyambut kedatangnaku. 
           Kutuang sirup dan air es kedalam gelas. Kuaduk.Ku minum dengan sekali teguk. Glek. Tandas. Rasa segar segera menjalari kerongkongan.Cukup untuk sementara menyejukkan hati yang kesal. Kulirik jam besar dinding ruang makan, pukul tiga. Barangkali satu dua jam cukup untuk menghilangkan rasa kesalku dengan tidur siang. Belum aku melayang- layang kealam mimpi, pintu kamarku ada yang mengetuk. " neng ada temannya," suara Bi Narsih hati-hati. Siapa yang datang siang-siang begini ? ganggu acara tidur aja ! Meski begitu, segera kubenahi dandananku.Ku sisir rambutku. Kurapikan t-shirt biru ku. Kulihat seorang pemuda duduk tertunduk.Wajahnya ditekuk dalam-dalam diruang tamu.
         Oblong biru dan jeans hitam yang dikenakan mengingatkan ku pada pemuda yang memaksa aku tergopoh-gopoh meninggalkan BIP.Hermankah ia? Kalau ya, nekat betul dia.Langkahku sempat terhenti.Bimbang kutemui atau tidak.Kalau kutemui,pasti menambah rasa kesal dan kecewa yang telah menumpuk di hati.Kalau tidak,kasihan dia datang jauh-jauh dari Cianjur hanya untuk menemuiku.Lagian,mana tanggung jawabku terhadap perjanjian yang telah diikrarkan.Akhirnya kumantapkan langkahku.Aku harus segera mengenalkan diri,akulah sahabat pena yang dia cari-cari."Hai ...!"Sapaku seramah mungkin walau agak dipaksakan.Sapaanku mengejutkan Herman yang sedang anteng menekuri ubin.
       "Evit,ya? "Balasnya yakin banget."Kamu pasti Herman ," ujarku tak kalah optimisnya,sambil kutebarkan senyum ala kadarnya.Kami bersalaman.Dalam hati aku berjanji,ini pertemuan pertama sekaligus terakhir.Dandanan Herman yang kampungan,tongkrongannya yang nggak level menjadi satu-satu nya alasan untuk tidak mengenalnya lagi.Tangan Herman begitu dingin seperti tidak dialiri darah.Dia pasti grogi atau minder,setelah tahu sahabat penanya mirim Cover girl.Memang wajahku lumayan.Semua orang mengakui itu.Bahkan di SMA-ku ,aku termasuk gadis top.Banyak cowok antre menyatakan cinta.Tapi,aku tak peduli.Aku simpan cinta ku untuk Herman,sahabat penaku.Aku berjanji nyanyi cintaku hanya didendangkan buat Herman.
        Memang aneh belum tahu sosok orangnya,begitu berani aku menegaskan herman sebagai cowokku.Padahal Herman pun tidak pernah mengusik tentang cinta lewat surat-suratnya.Nadanya jauh dari romantis.Hanya penawaran persahabatan.Aku saja yang kelewat berharap.Ketertarikanku pada Herman kusimpan sendiri,tak pernah kuceritakan pada siapapun.Tidak pada Nila,sahabatku.Tidak juga pada penghuni rumah.Dari surat-suratnya yang segar,lincah,aku berani taruhan,Herman orangnya supel,kece,wawasan berpikirnya luas sehingga layak menjadi cowokku.Herman kubayangkan bertubuh atletis,handsome dan cukup menyenangkan.Dengan mimpi dan angan yang kurangkai sendiri,Herman memenuhi kriteria cowokku.
        Tapi,ternyata mimpi dan anganku porak porandatat kala sosok Herman menjelma.Sekarang di depan mataku hadir sesosok tubuh yang jauh dari gambar yang selama ini kulukiskan.Herman begitu sederhana dibanding Recky,Jeffry ataupun Dion yang sudah terang-terangan naksir aku.Herman tak lebih dan tak kurang dari Jono,teman sekelasku yang kerap dijuluki pemuda gunung oleh teman-temanku,termasuk aku.Wajahnya begitu ndeso dan lugu."Evit,aku tahu,kamu pasti kecewa dengan pertemuan ini.Selama ini kamu pasti membayangkan aku cowok ganteng,gagah,atau kaya.Tapi bayanganmu meleset,aku tak lebih dari cowok kampung,anak gunung,"ujar Herman. Lho dari mana dia tahu isi kepala ku?
       "Aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan.Aku bisa meneropong jiwamu.Kamu gelisah dan kecewa dengan keadaanku,yang ternyata jauh dari perkiraanmu,"Herman berujardengan dingin dan suara itu berasal dari jauh."Evit aku datang dari jauh,hanya untuk memenuhi janjiku.Surat terakhirmu meminta kita bertemu langsung,dan aku menyanggupinya.Seperti yang tertera disurat itu,hari ini jam dua siang di BIP,tepatnya didepan "Contempo",kita harus bertemu.Mulanya aku ragu,akankah kedatanganku kau sambut hangat,seperti halnya kedatangan suratku yang selalu kau cium berkali-kali,"Suara Herman mendingin dan sayup-sayup,tapi tak ayal menembak jantungku.
          Mulutku menjadi terkunci.Kembali keheranan menyergapku,darimana dia tahu kalau surat-suratnya selalu aku cium,sembari kubayangkan wajah Herman yang....ehm! "Kepenasaranmu yang sebesar gunung untuk segera bertemu,dan atas kesepakatan yang telah kita buat,aku korbankan jam sekolahku.Hari ini aku bolos.Dengan bus tadi pagi,kutinggalkan Cianjur kutinggalkan teman-temanku,juga kutinggalkan ibu bapakku.Aku datang ke Bandung memenuhi janji itu.Tepat jam setengah dua,aku berdiri di tempat yang telah kau isyaratkan.Aku tahu jam dua siang tadi,adalah waktu yang telah disepakati.Sengaja sebelum waktunya,aku sudah siap menunggu kamu.Aku takut kau sudah menungguku.Aku takut telat. 
        Aku takut mengecewakan sahabatku.Pukul dua lewat seperempat,kamu datang.Baju kita sama,biru hitam.Itu aturan yang kau tawarkan,agar kita saling mudah mengenali.Aku gembira sekali dengan kehadiranmu.Tapi, aku sedih.Ketika kita bertatapan,kamu malah menyimak sekujur tubuhku.Dari ujung ubun-ubun hingga ujung kakiku.Kemudian matamu kembali meneliti wajahkuKamu telusuri lekuk-lekukdan garis wajahku.Sembari berharap kalau-kalau ada yang bisa ditonjolkan.Setelah tidak ada yang menarik pada wajahku untuk ukuran kamu,cepat sekali kamu lengoskan kepalamu,Pergi dengan seribu langkah.Sigap langkahmu,seperti seorang pencuri yang takut ketahuan setelah menjalankan aksinya"
        Pidatonya yang panjang membuat kupingku terbakar."Evit,aku mengakui wajah tampan atau penampilan yang ngetrend cukup besar peranannya ketika berjumpa pertama kali.Namun, kita jangan terpaku dengan hal yang satu ini.Sebab kecantikan atau ketampanan bisa menjerumuskan pada suatu persahabatan yang terlalu dipaksakan.Gara-gara wajahku jelek kamu tidak mau meneruskan persahabatan denganku.Kamu menilai suatu persahabatan dengan menimbang kadar kebaikan dan keburukan,hanya dari penampilan luarnya saja.Meski kamu tidak tahu warna jiwaku,ternyata kamu sudah memberi ultimatum,aku tak pantas menjadi sahabatmu," Kata-kata herman begitu menohok jantungku.   
         Aku tak mampu menatap wajahnya,bahkan untuk mengangkat kepala aku tak sanggup.Serasa ribuan ton besi menggelayut di kepalaku.Lalu kudengar Herman mendesah."Hanya itu kata-kata terakhir yang kusampaikan . Aku cukup tahu diri untuk tidak menjadi sahabatmu lagi," Tandas Herman.Kepergian Herman membuatku banyak merenungi kata yang terlucur dari mulutnya.Benar adanya semua celoteh Herman.Aku memang seringkali mengukur suatu persahabatan dengan standar penampilan dari luarnya saja.Hanya mengandalkan sosok luar,aku begitu tega menyia-nyiakan kedatangan Herman.Padahal Herman mempunyai kelebihan, wawasannya luas.
        Herman,maafkan aku! nanti malam akan kutulis surat untuk menetralisir keadaan.Herman,aku tetap sahabatmu terima kasih untuk segala cercaanmu,dan akan kusimpan pada benak kepedulian.Akan kujadikan sebagai pelajaran hidup.Akan kuundang kamu pada pertemuan kedua.Terasa hati begitu tenang.Pagi ini aku bersiap-siap pergi ke sekolah kurencanakan sepulang sekolah aku mampir ke kantor pos mengirim surat untuk Herman yang kutulis tadi malam.Kulirik jam yang melingkar ditanganku: pukul 6.20.cukup 10 menit untuk membaca koran pagi sebelum berangkat.
        Kujemput koran Pikiran Rakyat.Kujajari huruf-huruf yang tertera dihalaman muka.tak ada berita yang mampu mengikat mataku.Kubuka halaman dua,rubrik Bandung Raya,ada berita perampokan,ada berita pengangkatan pejabat ada kegiatan ibu-ibu Dharma Wanita,dan ada berita kecelakaan lalu lintas.Tertarik juga aku membaca berita terakhir.Kupelototi mataku menyimak berita kecelakaan lalu lintas. ... Seorang pemuda,diketahui bernama Herman Sudrajat (17) penduduk Cianjur menjadi korban tabrak lari.Ia tewas seketika kemarin sore sekitar pukul tiga dijalan Merdeka.Tubuhnya nyaris hancur setelah di hantam sebuah truk nopol ...
       Tak kutuntaskan berita itu.Hermankah korban tabrak lari itu? Pukul tiga ia tertabrak dan tewas seketika.Padahal beberapa menit kemudian ia hadir disini.Jadi,yang datang  ke rumah adalah ... Bulu kudukku berdiri dan aku merasakan ketakutan yang sangat.Keringat dingin berleleran di sekujur muka.Pemandanganku kabur,terasa pijakan kaki labil.Lalu ... tiba-tiba semua gelap.Gelap!
 

                                                                                                     oleh:Pipit Puspitawati
                                                                                                                                       (Dikutip dari Gadis,15 oktober 1993)

 

 

 

1 komentar: